Sejak kemunculannya pada tahun 2017, arsitektur Transformer telah menjadi fondasi tak terbantahkan bagi revolusi kecerdasan buatan (AI). Model-model canggih yang kita kenal, mulai dari yang menghasilkan teks hingga gambar, hampir seluruhnya berdiri di atas pundak arsitektur yang digagas oleh Google ini. Namun, dalam dunia teknologi yang tak pernah berhenti berputar, tak ada dominasi yang abadi. Kini, untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, takhta Transformer mulai goyah oleh kemunculan penantang-penantang baru yang menjanjikan lompatan efisiensi dan kekuatan.
Tantangan Fundamental: Mengapa Sulit Menggulingkan Sang Raja?

Sebelum melihat para penantang, penting untuk memahami mengapa mengganti Transformer bukanlah perkara mudah. Ilya Sutskever, salah satu pendiri OpenAI dan figur legendaris di balik makalah fundamental seperti AlexNet dan Seq2seq, memberikan sebuah argumen yang mencerahkan. Menurutnya, sebuah arsitektur jaringan saraf baru tidak cukup hanya dengan menjadi sedikit lebih baik. Ia harus mampu melakukan sesuatu yang secara fundamental tidak dapat disimulasikan oleh arsitektur yang ada.
Ini adalah rintangan konseptual yang sangat tinggi. Ditambah lagi, Transformer telah dioptimalkan secara masif selama bertahun-tahun untuk berjalan di perangkat keras yang dominan saat ini, yaitu GPU. Setiap arsitektur baru tidak hanya harus unggul secara teoretis, tetapi juga harus mampu berkinerja di dunia nyata, pada skala dan perangkat keras yang digunakan industri.
Harapan Baru dari Keterbatasan Lama
Meskipun tangguh, Transformer memiliki kelemahan yang semakin terasa seiring meningkatnya skala AI: penskalaan kuadratik. Sederhananya, jika Anda menggandakan panjang input (misalnya, jumlah kata dalam sebuah dokumen), biaya komputasi dan kebutuhan memori untuk Transformer tidak hanya berlipat ganda, tetapi meledak secara eksponensial. Hal ini membuat pemrosesan sekuens yang sangat panjang—seperti menganalisis seluruh buku atau data genomik—menjadi sangat mahal dan tidak praktis.
Dari celah inilah harapan baru muncul. Para peneliti mulai melirik kembali arsitektur alternatif, salah satunya adalah State Space Models (SSM), sebuah konsep yang telah berevolusi pesat dalam beberapa tahun terakhir.
Pelatihan AI Bersertifikasi Nasional
Evolusi Para Penantang: Mamba dan Jamba Naik ke Panggung
Perkembangan SSM bukanlah kesuksesan dalam semalam. Ia dibangun melalui serangkaian inovasi seperti S4 yang fokus pada efisiensi dan H3 yang memperkenalkan mekanisme mirip atensi. Evolusi ini mencapai puncaknya pada dua arsitektur yang kini menjadi sorotan utama:
- Mamba: Sang Juara Efisiensi Diperkenalkan pada akhir 2023, Mamba menjadi terobosan besar. Ia berhasil memecahkan masalah penskalaan kuadratik dengan menawarkan penskalaan linear. Artinya, komputasi Mamba jauh lebih efisien dan cepat dalam menangani sekuens data yang sangat panjang. Kehebatannya terbukti dalam pengujian: model Mamba dengan 3 miliar parameter mampu mengungguli performa Transformer dengan ukuran yang sama, bahkan menyamai Transformer yang ukurannya dua kali lebih besar.
- Jamba: Kekuatan Hibrida yang Pragmatis Jika Mamba adalah seorang spesialis, Jamba yang muncul pada tahun 2024 adalah seorang generalis yang cerdas. Jamba tidak membuang Transformer sepenuhnya, melainkan mengadopsi pendekatan hibrida dengan menyelang-nyeling lapisan Transformer dan Mamba. Hasilnya adalah sebuah model mixture-of-experts (MoE) yang sangat kuat. Jamba dirancang untuk muat dalam satu GPU 80GB—sebuah keuntungan praktis yang luar biasa—sambil menunjukkan kinerja impresif pada konteks super panjang hingga 256.000 token dengan jejak memori yang jauh lebih kecil dari Transformer biasa.
Masa Depan Arsitektur AI: Apa yang Berubah?
Kemunculan Mamba dan Jamba menandai dimulainya babak baru dalam perlombaan supremasi AI. pakah ini berarti Transformer akan segera usang? Mungkin tidak dalam waktu dekat. Namun, lanskap AI yang selama ini monolitik kini menjadi jauh lebih beragam dan kompetitif.
Bagi para profesional dan industri, pergeseran ini membawa implikasi penting. Di masa depan, kita akan memiliki pilihan arsitektur yang lebih luas, memungkinkan kita memilih alat yang tepat untuk tugas yang spesifik—apakah itu efisiensi Mamba untuk analisis data panjang atau kekuatan hibrida Jamba untuk pemodelan bahasa serbaguna.
Satu hal yang pasti, meskipun arsitektur dasarnya mungkin berubah, prinsip-prinsip fundamental dalam rekayasa AI—seperti adaptasi model, evaluasi, dan penyelarasan dengan tujuan manusia—akan tetap menjadi kunci. Perlombaan belum berakhir; babak baru yang lebih menarik baru saja dimulai.
Baca Juga :






