Dalam setiap diskusi strategis mengenai masa depan teknologi, satu akronim selalu menjadi pusat perhatian: AGI, atau Artificial General Intelligence. Ia diposisikan sebagai tujuan tertinggi, sebuah visi tentang Kecerdasan Buatan (AI) yang tidak hanya unggul dalam satu tugas, tetapi memiliki kecerdasan yang setara, atau bahkan melampaui, kapabilitas kognitif manusia secara luas.
Namun, di balik narasi besar ini, tersimpan sebuah paradoks fundamental yang menyelimuti para ahli itu sendiri: Apa sebenarnya definisi AGI?
Jika para arsitek utamanya saja belum memiliki satu suara, bagaimana kita sebagai pemimpin dan pengamat industri harus menavigasi diskursus ini? Mari kita bedah kompleksitas ini dengan lebih dalam, berdasarkan perspektif yang diulas oleh Scientific American.
Visi Awal dan Garis Finis yang Terus Bergeser
Sejak awal, visi tentang AGI tidak pernah tunggal. Ulasan dari Scientific American mengingatkan kita pada beberapa tolok ukur historis. Pada tahun 1970, ilmuwan komputer Marvin Minsky membayangkan mesin yang bisa “membaca Shakespeare, memperbaiki mobil, dan bermain politik kantor.” Bertahun-tahun kemudian, muncul “tes kopi” yang sering dikaitkan dengan salah satu pendiri Apple, Steve Wozniak, yang menyatakan AGI tercapai jika sebuah mesin bisa masuk ke rumah orang asing dan membuat secangkir kopi dengan benar.
Masalahnya, setiap kelompok—ilmuwan komputer, ahli kognitif, pakar etika—memandang AGI dari lensa yang berbeda. Melanie Mitchell, seorang profesor di Santa Fe Institute, menjelaskan kepada Scientific American bahwa istilah AGI sendiri muncul kembali sebagai sebuah “kalibrasi ulang.” Para peneliti saat itu merasa bidang AI menjadi terlalu sempit, hanya fokus pada tugas tunggal seperti mengalahkan juara catur. Istilah AGI digunakan untuk mengembalikan fokus pada tujuan awal yang lebih agung: menciptakan mesin dengan kecerdasan yang luas dan menyerupai manusia.
Pertanyaan Mendasar: Apakah “Kecerdasan Umum” Itu Ada?
Kerumitan ini semakin dalam saat kita mempertanyakan konsep “kecerdasan” itu sendiri. Para ilmuwan kognitif telah lama berdebat tentang ini. Ada yang meyakini adanya “faktor g,” sebuah aspek kecerdasan umum yang membuat seseorang unggul di berbagai bidang kognitif.
Namun, pandangan ini ditentang keras oleh banyak ahli. Gary Lupyan, seorang ahli neurosains kognitif, menyatakan kepada Scientific American bahwa para peneliti AI seringkali “terlalu percaya diri” saat berbicara tentang kecerdasan. Ia berpendapat bahwa tes IQ dan sejenisnya hanya merefleksikan nilai-nilai budaya dan kondisi lingkungan pada suatu masa.
Pandangan yang lebih tajam datang dari Alison Gopnik, seorang profesor psikologi di University of California, Berkeley. Ia menyatakan dengan tegas: “Tidak ada yang namanya kecerdasan umum, baik itu buatan maupun alami.” Menurutnya, berbagai jenis masalah menuntut jenis kecerdasan yang berbeda. Anak kecil, misalnya, adalah pembelajar yang sangat fleksibel, namun bukan perencana jangka panjang yang andal. Prinsip dan batasan yang sama, menurutnya, juga berlaku untuk mesin. Bagi Gopnik, AGI tak lebih dari “slogan pemasaran yang sangat bagus.”
Dari Kemampuan Fisik ke Nilai Ekonomi
Definisi AGI terus berevolusi. Ketika realitas menunjukkan betapa sulitnya membuat robot yang bisa melakukan tugas fisik sederhana seperti melipat cucian—sebuah fenomena yang dikenal sebagai Paradoks Moravec—definisi AGI mulai bergeser. Fokusnya beralih dari penguasaan dunia fisik ke penguasaan tugas-tugas kognitif yang bisa dilakukan manusia di depan komputer.
Saat ini, para pemain utama di industri pun memiliki definisi praktis mereka sendiri. OpenAI, dalam piagamnya, mendefinisikan AGI sebagai “sistem yang sangat otonom yang mengungguli manusia pada sebagian besar pekerjaan yang bernilai ekonomis.” Di sisi lain, para peneliti di Google DeepMind mengusulkan kerangka enam tingkatan AI. Dalam kerangka ini, beberapa model bahasa saat ini, seperti ChatGPT dan Gemini, diklasifikasikan sebagai “AGI yang sedang berkembang” (emerging AGI), karena kemampuannya setara dengan manusia yang tidak terampil dalam berbagai tugas.
Perbedaan definisi ini menunjukkan bahwa bahkan di tingkat korporat, garis finis itu masih berupa spektrum, bukan sebuah titik tunggal.
Sebuah Refleksi Penutup
Pada akhirnya, mungkin perdebatan tentang definisi AGI yang presisi bukanlah poin utamanya. Yang lebih penting adalah mengakui bahwa pengejaran konsep ini, betapapun kaburnya, telah menjadi mesin pendorong inovasi yang luar biasa. Ia memaksa kita untuk terus bertanya: Apa artinya menjadi cerdas? Kemampuan apa yang benar-benar membedakan manusia?
Seperti yang disimpulkan dalam artikel Scientific American, kata-kata yang kita gunakan sangatlah kuat. Istilah AGI membangkitkan imajinasi dan, terkadang, ketakutan. Mungkin, jika sejak awal para ilmuwan menamainya “Pemrosesan Informasi Kompleks Tingkat Lanjut,” kita akan memiliki diskursus yang lebih terukur. Namun, untuk saat ini, kita berada di tengah perjalanan yang menarik, mengejar sebuah cakrawala yang terus bergerak.